Jakarta
– : TEKAD perang melawan narkoba terus dikobarkan oleh para pemangku
kepentingan di negeri ini. Namun, peredaran narkoba tidak juga kunjung
surut. Bahkan, temuan demi temuan modus baru peredaran narkoba hadir
seolah tidak ada yang membendung. Penjara yang mestinya memberikan efek
jera, malah menjadi tempat nyaman bagi transaksi zat perusak dan
pembunuh itu.
Orang
bilang Indonesia adalah surga dunia. Sialnya, Indonesia juga menjadi
surga bagi gembong narkoba. Jika di negara lain para bandar narkoba
dihukum gantung, maka di negeri ini, perusak generasi muda bangsa itu
malah diampuni.
Simak
saja yang terjadi pada Deni Setia Maharwan alias Rapi Mohammed Majid.
Gembong narkoba jaringan internasional yang tertangkap dan dijatuhi
hukuman mati itu, akhirnya diampuni oleh presiden.
Deni
dibekuk saat berangkat dengan pesawat Cathay Pacific lewat Bandara
Soekarno-Hatta, bersama dua rekan sindikatnya. Kasus Deni diputus oleh
Pengadilan Negeri Tangerang tahun 2000. Saat itu PN Tangerang
menjatuhkan vonis mati bagi Deni. Vonis itu bahkan dikuatkan hingga
putusan kasasi MA yang dijatuhkan pada 18 April 2001. Tetapi vonis itu
dimentahkan oleh presiden lewat kewewenangan memberikan grasi.
Grasi
untuk Deni dikeluarkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor
7/G/2012 yang mengubah hukuman Deni dari hukuman mati menjadi hukuman
seumur hidup. Keputusan itu ditandatangani pada 25 Januari 2012.
Tidak
hanya Deni, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga memberikan
grasi kepada gembong narkoba Merika Pranola alias Ola alias Tania. Grasi
Ola, yang masih satu kelompok dengan Deni, tertuang dalam Keppres Nomor
35/G/20122 yang ditandatangani 26 September 2011.
Padahal,
sebelum Keppres dikeluarkan, Mahkamah Agung telah menyarankan kepada
Presiden SBY untuk menolak permohonan grasi dua gembong narkoba itu.
Namun, SBY tak bergeming. Ia tetap memutuskan untuk mengabulkan
permohonan grasi mereka.
Mahkamah
telah mempertimbangkan permohonan dari kedua terpidana mati itu, dan
berpendapat bahwa permohonan tidak terdapat cukup alasan untuk
dikabulkan. "Oleh karena itu, MA mengusulkan agar permohonan grasi itu
ditolak," ungkap juru bicara MA, Djoko Sarwoko, di Gedung MA, Jl Medan
Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (12/10/2012) kemarin.
Namun,
Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, berdalih bahwa pemberian
grasi tersebut dilakukan SBY atas dasar perhatiannya kepada warga negara
Indonesia yang dijatuhi vonis hukuman mati dalam kasus
pidana. "Presiden juga sangat concern dengan para WNI terlibat kasus
pidana, sehingga dipenjara dan dijatuhi vonis hukuman mati," ujar Julian
di Bina Graha, Jakarta, Jumat (12/10/2012).
Tidak
hanya kepada Deni, lanjut Julian, terhadap warga negara Indonesia yang
menjadi narapidana hukuman mati di luar negeri juga diupayakan
permohonan grasi oleh SBY. "Hasilnya sangat banyak WNI terpidana yang
sudah diringankan hukumannya, banyak yang mendapatkan grasi atas pidana
mati, pengurangan masa hukuman penjara dan dibebaskan," terang Julian.
Bukan
kali ini saja presiden mengampuni para gembong narkoba. Terhitung dalam
dua tahun terakhir, SBY telah memberikan grasi kepada empat narapidana
kasus narkoba. Selain kepada Ola dan Deni, presiden juga pernah
memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby dan Peter Achim Franz
Grobmann (53 tahun). Peter merupakan terpidana 5 tahun penjara atas
kepemilikan ganja seberat 4,9 gram bruto atau 2,2 gram neto. Keputusan
grasi yang diberikan kepada pria berkepala plontos dan bertato itu
diambil pada 15 Mei 2012 di Jakarta.
Grasi
kepada terpidana Peter Achim berupa pengurangan jumlah pidana selama 2
tahun. Sehingga hukuman pidana penjara yang dijatuhkan kepada terpidana
dari pidana penjara selama 5 tahun menjadi pidana penjara selama 3
tahun. Atas pemberian grasi tersebut, Peter yang sudah menjalankan masa
hukuman lebih dari satu tahun itu tak lama lagi bakal menghirup udara
bebas.
Begitu
juga Corby memperoleh remisi sebanyak 25 bulan. Dengan perhitungan
sudah ditahan sejak Oktober 2004, plus pengurangan 25 bulan dari remisi
dan 5 tahun dari grasi, Corby akan selesai menjalani masa tahanan pada
September 2017. Ia berhak mengajukan pembebasan bersyarat jika sudah
menjalani 2/3 masa hukuman, sehingga diperkirakan dia bisa bebas pada
Mei 2013.
Corby
adalah warga Australia yang mendapat grasi melalui Keppres Nomor 22/G
Tahun 2012 yang diterbitkan 15 Mei 2012. Sedangkan Grobmann adalah
terpidana kasus narkoba asal Jerman, yang dihadiahi grasi dalam
Keputusan Presiden (keppres) bernomor 23/G Tahun 2012.
Perlu
diketahui, grasi kepada Ola dan Deni baru terungkap sekarang ini
melalui Mahkamah Agung. Begitu pun pemberian grasi kepada Corby, awal
terungkap bukan melalui istana namun melalui media massa Australia.
Pemberian
tiga garasi kepada empat gembong narkoba yang terkait jaringan
internasional itu juga bertentangan dengan ucapan presiden SBY sendiri
pada 2005 dan 2006. Ketika itu SBY menegaskan bahwa pemerintah tidak
akan mengampuni narapidana kasus narkoba.
Istana
Negara, 29 Juni 2005: Presiden SBY menyatakan, grasi untuk jenis
kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotik tidak akan pernah
dikabulkan, termasuk bagi Corby. “INI MENUNJUKKAN KITA TIDAK PERNAH MEMBERI TOLERANSI KEPADA JENIS KEJAHATAN INI,” tegas Yudhoyono saat itu.
Pemberian
grasi kepada Corby bertentangan dengan kebijakan pengetatan pemberian
remisi pada napi dengan kejahatan luar biasa, seperti korupsi, narkotik,
dan terorisme. Bahkan dipertegas lagi oleh Presiden SBY pada tahun
2006:
"SAUDARA
KETUA MAHKAMAH AGUNG, SAYA SENDIRI, TENTU MEMILIH UNTUK KESELAMATAN
BANGSA DAN NEGARA KITA, MEMILIH KESELAMATAN GENERASI KITA, GENERASI MUDA
KITA DIBANDINGKAN MEMBERIKAN GRASI KEPADA MEREKA YANG MENGHANCURKAN
MASA DEPAN BANGSA," tegas Presiden saat memberikan sambutan
dalam peringatan Hari Anti-Narkoba Internasional yang diselenggarakan di
Istana Negara, Jakarta, pada 30 Juni 2006 silam.
Ketika itu SBY menegaskan, pemerintah tidak akan memberi toleransi kepada para pembuat dan pengedar narkoba. "PEMERINTAH
TELAH DAN AKAN TERUS MELAKUKAN PENEGAKKAN HUKUM TANPA PANDANG BULU.
PARA PELAKU KEJAHATAN NARKOBA DENGAN SEGALA BENTUK DAN MODUS OPERANDINYA
AKAN TERUS KITA LAWAN DENGAN SEKUAT TENAGA," katanya.
Namun, kini presiden SBY bak MENJILAT LUDAH SENDIRI.
Ia malah memberikan grasi kepada empat narapidana kasus narkoba dengan
alasan kemanusiaan. Tak pelak, kebijakan tersebut menuai kontroversi.
Ketua Bidang Politik dan Hubungan Antar Lembaga DPP PDI Perjuangan Puan
Maharani mengaku tidak sepakat dengan langkah yang ditempuh pemerintah
memberikan grasi kepada gembong pengedar narkoba.
Menurutnya,
kasus narkoba adalah satu dari tiga hal yang dianggap sebagai musuh
besar negara, karena bisa menghancurkan sendi-sendi ketahanan dan
pertahanan. Termasuk menghancurkan generasi sebagai penerus perjuangan.
"Seperti kita tahu, korupsi, terorisme dan narkoba akan merusak tatanan
dan menghancurkan negara. Untuk itu PDI Perjuangan tidak sependapat
dengan pemberian grasi terhadap pengedar narkoba," kata Puan Maharani
usai pembukaan Rakernas II DPP PDI Perjuangan di Surabaya, Jumat, 12
Oktober 2012, seperti dilaporkan Antara.
Bertolak
belakang dengan pernyataan MA, kata Julian, Presiden telah pertimbangan
Mahkamah Agung sebelum memberikan grasi kepada terpidana narkoba Deni
Setia Maharwa. Presiden pun merujuk pada Pasal 14 ayat (1) UUD 1945.
"Presiden juga telah mendapat masukan dari Menteri Politik Hukum dan
HAM, Menteri Hukum dan HAM, dan Jaksa Agung," kata Julian.
Inilah kebiasaan buruk pejabat di negeri ini. KETIKA TERUNGKAP KE PUBLIK, SUDAH BIASA PEJABAT SALING LEMPAR TANGAN.
Apapun, grasi sudah diberikan atas wewenang presiden. Ini berarti
mencederai rasa keadilan dan membiarkan para perusak generasi muda di
negeri ini tetap hidup.