Penahanan selama 76 hari di kamp
Guantanamo, Kuba, membuat Kapten James Yee benar-benar 'terluka'. Dia
meyakini Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah berbuat salah dalam
penahanan tersebut. Karena itu, sampai sekarang dia terus menanti adanya
permintaan maaf secara resmi dari Pemerintah AS. Yee adalah Muslim taat
yang sempat berkarier di militer AS. Lulusan pendidikan militer
bergengsi West Point tahun 1990 ini sejak September 2001 ditugaskan di
Guantanamo.
Selama menjalani tugas, dia banyak difitnah, termasuk
difitnah sebagai mata-mata, membantu musuh, serta pengkhianatan. Atas
dasar itulah dia kemudian dipenjara dan akhirnya diberhentikan dengan
hormat.
Menurut penuturan Yee dalam wawancaranya dengan ABC, semua tuduhan itu bisa membawanya pada tuntutan hukuman mati. Namun untunglah, tuntutan itu tidak pernah terjadi.
Perjalanan terjal yang dialaminya selama berkarier di
militer dan bertugas di Guantanamo baru saja dituliskannya dalam sebuah
buku berjudul For God and Country: Faith and Patriotism Under Fire,
yang diluncurkan pada Idul Fitri, 4 November lalu. Namun, itu belum
cukup mengobati 'lukanya'. ''Saya masih menunggu permintaan maaf dari
pemerintah,'' ujarnya. Saat ditahan, Yee mendapat perlakuan layaknya
tahanan lain di kamp yang terkenal dengan kekejaman para penjaganya itu.
Dia dilempar ke bak truk untuk dibawa dari satu tempat ke tempat lain
dengan tangan dan kaki terikat. Waktu itu, dia pun sangat merisaukan
keselamatan dirinya. Maklumlah, dia telah banyak menyaksikan perlakuan
kejam para penjaga terhadap tahanan di kamp tersebut. Yee juga menyadari
bahwa saat itu keluarganya sama sekali tidak ada yang tahu di mana dia
berada.
Kekejaman para penjaga itu kerap dicoba untuk diredam
oleh Yee --saat ia masih bertugas-- supaya tidak menyengsarakan para
tahanan. Dia juga terus berusaha mencegah terjadinya pelecehan terhadap
Alquran dan simbol Islam yang lain. Namun diakuinya, praktik-praktik
pelecehan itu tetap terjadi. Saat masih bertugas pula, Yee juga mengaku
sering melihat adanya penggeledahan terhadap tahanan pria yang dilakukan
oleh penjaga-penjaga perempuan. Hal ini sangat mengganggunya. Dalam
buku tersebut dia menuturkan bahwa dirinya terus berusaha mengingatkan
para penjaga perempuan untuk menghentikan aksinya. Penjara di AS,
menurut dia, menerapkan aturan yang melarang penggeledahan beda kelamin.
Aturan tersebut pun ditunjukkannya kepada para penjaga perempuan,
sehingga penggeledahan beda kelamin tidak lagi terjadi.
Kesaksian lain soal situasi Guantanamo yang
dituliskannya adalah soal kemarahan para tahanan. Menurut dia, para
tahanan itu umumnya dibawa ke Guantanamo tanpa proses hukum yang benar.
Karena begitu tertekan, sebagian mereka pun tidak mau bicara sama
sekali. ''Mereka mempercayai bahwa mereka ditahan karena beragama
Islam,'' ungkap ayah satu putri itu seperti tertulis di situs www.beliefnet.com.
Begitu mendekam di tahanan, Yee pun banyak
menghabiskan waktunya untuk berdoa dan membaca Alquran. Dia senantiasa
membandingkan ayat-ayat Alquran dan muatan Injil. Yee banyak membaca
kisah tentang Nabi Yusuf. Nama Yusuf kemudian dia jadikan nama Islamnya.
Saat dalam tahanan, dia juga banyak membaca kisah Nabi Nuh yang begitu
gigih mempertahankan keimanannya kepada Allah SWT.
Pilihannya untuk memeluk Islam kemudian memang
membuatnya dituntut siap menghadapi ujian hidup. Mulanya, dia adalah
pemeluk Lutheran. Pilihannya untuk memeluk Islam ditentukan ketika
berlibur ke Suriah setelah lulus dari West Point dan bertemu perempuan
bernama Huda yang kemudian menjadi istrinya. Dari sinilah napas Islam
berembus semakin kuat dalam dirinya. Dia habiskan waktu selama lima
tahun untuk belajar bahasa Arab dan Islam di Suriah. Dia juga kemudian
berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. ''Ketika pergi
ke Makkah dan melihat keberagaman Islam, saya menyadari bahwa Islam
mengizinkan manusia dari seluruh latar belakang budaya untuk
memeluknya,'' ungkap Yee. Posisinya sebagai warga Amerika, kata Yee,
tidak membuat dirinya berbeda dari pemeluk Islam yang datang dari bangsa
yang lain. ''Kami memiliki keimanan yang sama dengan satu Tuhan,''
ungkapnya.
Hanya, diakuinya memang terkadang terjadi kesenjangan
antara kondisi ideal dan kenyataan. Beberapa Muslim di AS mengatakan
bahwa Muslim dari negara lain tidak selalu bisa menerima 'keamerikaan'
mereka. ''Tapi, Islam yang 'cantik' adalah selalu menerima semua unsur
kebudayaan,'' tutur dia. Semangatnya untuk menampilkan wajah Islam
sebagai agama yang toleran memang tak pernah padam.
Generasi ketiga keturunan Cina yang migrasi ke AS itu
berharap kisah perjalannya selama di Guantanamo itu bisa memberi
inspirasi bagi banyak orang untuk memahami Islam secara lebih baik.
Lewat buku tersebut dia juga berharap banyak orang bisa belajar tentang
perjuangan menggapai keadilan, kesetaraan, dan kemerdekaan. Yee yang
lebih tepat disebut sebagai ulama itu yakin, masalah yang dialaminya
juga masalah yang dialami dunia (Islam) secara keseluruhan. ( Republika
online/irf/irw-mcol )